Kemeriahan dan sedapnya atraksi di mata seringkali menjadi magnet bagi mereka yang menonton pertunjukan korps Marching Band. Indahnya formasi dan akrobatik menawan dari color guard seringkali begitu menarik dipandang, terlebih ketika dibungkus dengan suara gegap gempita musik dari pit percussion dan brass yang berbaris rapi dan semarak. Namun agaknya dari sore hingga malam ini, Eric Awuy trumpetis kawakan Indonesia bersama Andreas Manalu selaku produser mencoba membawa hadirin untuk masuk lebih dalam ke khasanah musik lewat sesi masterclass di sore hari dan penampilan ensemble dan kelompok musik kamar berbagai kelompok tiup logam ini.
Sudah menjadi kelaziman dalam Grand Prix Marching Band yang diadakan setiap Desember menarik minat pelaku Marching brass dan penonton. Dalam kompetisi skala besar, berpuluh-puluh kelompok tumpah ruah di Istora Senayan, ribuan orang menginjakkan kaki di lapangan, tampil maksimal dalam 12 menit membawakan musik dengan suguhan atraksi yang luar biasa. Namun, seperti yang diucapkan Eric Awuy pada para hadirin, adalah baik bahwa marching brass tampil dalam acara penampilan di gedung konser seperti Goethe Haus semalam yang didahului dengan masterclass. Semua belajar bersama dalam kelas terbuka, pelajaran yang ditonton oleh hadirin, pun tampil dilingkupi semangat kebersamaan, bukan persaingan seperti dalam Grand Prix.
Dari segi musik, harus diamini bahwa hadirnya berbagai kelompok marching brass dalam format ensembel konser adalah seakan menampilkan captions performa musik secara mandiri, bahkan telanjang tanpa efek visual lainnya, main pun tak perlu banyak bergerak. Penggarapan musik adalah kunci satu-satunya yang membentuk persepsi hadirin akan kualitas, suatu hal yang bisa dibilang jarang dan mungkin agak dihindari oleh musisi Brass Band. Ya, adalah mudah untuk menyembunyikan musik dengan atraksi visual yang menawan, namun dengan demikian semua akan tetap terasa mentah di sisi musik. Namun kali ini bagaimana penggarapan teknis, dan permainan sebagai ensembel menjadi sorotan dan setiap ensembel yang tampil pada malam ini patut diacungi jempol karena berani menjawab tantangan ini.
Berbagai barisan unjuk gigi pada konser Gita Teladan Concert Series malam ini. Gita Teladan Brass Ensemble dan Gita Pesona Mandala Brass Ensemble tampil dengan permainan musik ensembel yang tergarap dan balancing yang baik. Beras En Sambel dan Crotchet Brass Quintet tampil dalam format berlima, Beras yang digawangi lima lulusan Twilite Youth Orchestra mewakili kuintet musik klasik yang bermain dengan bersih sedang Crotchet dari Santa Ursula tampil mewakili kuintet marching brass dengan susunan alat yang berbeda namun memiliki magnet tersendiri. Sadaluhung Padjajaran Drum Corps bersama Madah Bahan Universitas Indonesia mewakili kelompok universitas untuk tampil dalam acara ini. Sedang pit percussion muncul dengan More Marimba Duo. Pagelaran pun ditutup dengan Gita Teladan Concert Band yang tampil dengan barisan brass dan pit percussionnya yang bermain di luar kepala, sebuah hal yang lumrah bagi ensembel pemusik corps band, namun agak jarang untuk ensembel musisi klasik.
Eric Awuy sendiri sebagai pemateri di sesi sore juga tampil bersama pianis Nesca Alma, memainkan karya-karya trompet dan mellophone dengan eksekusi yang sedemikian jernih dan teknik double tonguing berkecepatan tinggi, mengundang decak kagum para penggiat marching brass yang hadir malam itu. Harus kita akui bahwa saking begitu banyaknya aspek yang bersangkut paut dengan Corps Style band, seringkali penggarapan teknik musik dan musikalitas jadi nomor kesekian dalam marching brass kita – sebuah kondisi yang jelas berbeda bagi banyak musisi tiup logam yang dibesarkan dalam tradisi klasik seperti Eric Awuy yang meraih penghargaan pertama sebagai pemain trompet terbaik di Montreal Music Conservatory dan sempat meniti karir di Orkestra Simfoni Montreal dan berbagai orkes profesional di Jakarta. Penampilan Eric malam itu juga mungkin menjadi pembuka mata, bahwa aspek musik selalu bisa digarap lebih jauh dan lebih mendalam dari aspek visual lainnya.
Malam ini bisa jadi adalah mimpi Eric Awuy yang akhirnya menjadi kenyataan, bahwa Marching Brass yang bisa jadi adalah sebuah genre yang sampai saat ini digerakkan oleh 3000 kelompok diseluruh negeri dan melibatkan ratusan ribu orang, dapat duduk bersama dan belajar musik secara lebih mendetail. Belajar tampil dalam format ensembel kecil yang pastinya menantang bagi para pemain, namun juga belajar bagaimana berlatih instrumen dan mendalami aspek musik. Pun setiap anggota juga ditantang untuk mengambil tanggung jawab lebih, untuk lebih sensitif dan lebih fleksibel. Harus diakui Gita Teladan dan Gita Pesona Mandala yang diawaki pelajar SMA dan SMP tampak begitu sensitif dan elastis dalam permainan. Mereka dengan sigap mengikuti arahan musik yang diberikan, terlebih terlihat pada saat masterclass.
Jujur saja, sering kita terlupa bahwa penggiat marching band adalah musisi juga yang naluri musiknya harus selalu diasah untuk menciptakan musik yang berkualitas, sebuah pekerjaan rumah bagi seluruh kelompok marching band. Namun bagi Eric Awuy yang kerap menjadi juri Grand Prix Marching Band, ia telah melihat perkembangan kualitas permainan musik yang signifikan dalam 3 tahun terakhir. Kita juga berharap acara pendidikan seperti ini menjadi pendorong perkembangan itu lebih jauh lagi, dan tentunya sebagai bekal ensembel pun juga penonton yang telah tampil pada malam hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar